Ketika seseorang hendak menuntut ilmu, mereka mendapatkannya di kitab-kitab. Ketika hendak mencari keberkahan, tidaklah mereka mendapatkannya kecuali dalam diri orang-orang shalih. Ahli ilmu banyak, tapi ahli keberkahan itu sedikit.
Kerala
adalah sebuah negara bagian di India bagian barat daya. Meski minoritas
dari segi jumlah, sejarah membuktikan, umat Islam telah memberi
kontribusi yang begitu be¬sar dalam kehidupan masyarakat wilayah yang
berada di Asia Selatan itu.
Riwayat Islam di Negeri Hindustan
terbilang amat panjang. Ada banyak versi tentang masuknya Islam ke
India. Meski begitu, datangnya ajaran Islam ke anak benua India itu bisa
diklasifikasikan dalam tiga gelombang. Yakni dibawa orang Arab pada 8
M, orang Turki pada 12 M, dan abad ke-16 M oleh orang Afghanistan.
Menurut satu versi sejarah, Islam awalnya
tiba di India pada abad ke-7 M. Adalah Malik Ibnu Dinar dan 20 sahabat
Rasulullah SAW yang kali pertama menyebarkan ajaran Islam di negeri itu.
Saat itu, Malik dan sahabatnya menginjakkan kaki di Kodungallur,
Kerala. Kedatangan Islam pun disambut penduduk wilayah itu dengan suka
cita.
Malik lalu membangun masjid pertama di
daratan India, yakni di wilayah Kerala. Masjid pertama yang dibangun
umat Islam itu bentuknya mirip dengan candi, tempat ibadah umat Hindu.
Bangunan masjid itu diyakini dibangun pada tahun 629 M.
Ada yang meyakini, masjid di
Ko¬dung¬allur, Kerala, itu merupakan masjid kedua di dunia yang
digunakan shalat Jum’at, setelah masjid yang dibangun Rasulullah di
Madinah.
Konon, dari Kerala-lah Islam lalu
menyebar ke seantero India. Dan di Kerala pula figur kita, Habib
Abubakar bin Abdul Qadir Mauladdawilah, berlabuh sekitar dua bulan yang
lalu, kurang lebih dua pekan lamanya. Atas undangan sebuah institusi
pendidikan di Kerala, Habib Abu bakar pun membulatkan tekad untuk
berangkat dan berdakwah di sana, dan kini berkenan berbagi sedikit
cerita dengan segenap pembaca alKisah.
Melebarkan Sayap Dakwah
Dua tahun lebih sudah berlalu, saat Habib Abubakar mengisi rubrik Figur di alKisah pertama kalinya. Tepatnya bulan Juni 2010. Kini, Habib Abubakar hadir kembali di tengah-tengah kita dengan membawa segudang cerita dakwah yang menarik.
Dua tahun lebih sudah berlalu, saat Habib Abubakar mengisi rubrik Figur di alKisah pertama kalinya. Tepatnya bulan Juni 2010. Kini, Habib Abubakar hadir kembali di tengah-tengah kita dengan membawa segudang cerita dakwah yang menarik.
Pada edisi dua tahun lalu itu,
disebutkan, Habib Abubakar, yang lahir dan menetap di Malang, sudah
punya majelis di Banjarmasin, Kalimantan, yang berjalan secara rutin
setiap bulan. Hingga saat ini majelisnya itu masih berjalan, bahkan
pengunjungnya bertambah banyak. Kalau dulu sekitar ratusan, sekarang ini
bisa mencapai seribu orang.
Dari Banjarmasin, sayap dakwah Habib
Abubakar terus dikepakkan. Sekitar setahun ini ia membuka majelis lagi
di Kuta, Bali. Namanya sama dengan yang di Banjarmasin, Majelis An-Nur.
Bisa di-katakan, Majelis An-Nur yang di Bali ini adalah cabang dari
Majelis An-Nur yang di Banjarmasin. Materi yang dibawakan di sana juga
kurang lebih sama, membaca Maulid Nabi, dzikir Asmaul Husna, dan kajian
kitab An-Nashaih ad-Diniyyah, karya Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad.
”An-Nur”, yang artinya cahaya, adalah
nama yang diberikan oleh Habib Abdul Qadir bin Hasan Bin Quthban, salah
seorang tokoh muda habaib Tuban saat ini. Dari Habib Abdul Qadir Bin
Quthban ini pula ia mendapat bekal nasihat yang amat berharga, “Kalau
berdakwah, terus enak-enakan, tidak ada ujiannya, dikhawatirkan itu
adalah istidraj dari Allah SWT.” Tanda-tandanya, awalnya memang terlihat
menakjubkan. Tapi terakhirnya nanti akan hancur. Na’udzu billah min
dzalik.
Karenanya, dalam berdakwah yang ia
kedepankan adalah sikap istiqamah. Untuk bisa istiqamah, cobaan dan
rintangan dakwah selalu ada saja. Baik yang di Banjarmasin maupun di
Bali, posisi majelisnya tak berjauhan dengan posisi diskotek besar.
”Menjelang puasa kemarin, di Banjarmasin, berbarengan dengan ketika saya tawaqufan (penutupan sementara) majelis, tetangga di sana itu juga tawaqufan diskotek,” ujarnya setengah bergurau.
Dahsyatnya maksiat di sejumlah kota di
Indonesia membuatnya terus bertekad menebar ajaran syari’at Rasulullah
SAW di berbagai tempat. Ia kemudian mengatakan, ”Apa lagi yang bisa kita
perbuat untuk menyenangkan hati Rasulullah kalau tidak dengan membuka
majelis-majelis yang di dalamnya disebut-sebut nama Allah SWT,
menghidupkan sunnah beliau, dan mengisahkan perjalanan para kekasih
Allah dan rasul-Nya sebagai bekal hidup bagi orang-orang terkemudian.”
Kagum pada Dakwah Salaf
Kunjungan dakwah Habib Abubakar ke Kerala merupakan bagian dari rangkaian acara haul Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad yang diselenggarakan di sana. Sewaktu tiba di sana, kedatangan Habib Abubakar juga diiringi tabuhan hadhrah ala India.
Kunjungan dakwah Habib Abubakar ke Kerala merupakan bagian dari rangkaian acara haul Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad yang diselenggarakan di sana. Sewaktu tiba di sana, kedatangan Habib Abubakar juga diiringi tabuhan hadhrah ala India.
Mungkin karena sudah menjadi masyarakat
Islam sejak dulu sekali, kehidupan religius di sana termasuk
membang-gakan. ”Masyarakatnya sangat religius. Hampir mirip seperti di
sini, setiap habis maghrib mereka membaca Ratib Al-Haddad. Mereka juga membaca Maulid Simthud Durar,” kata Habib Abubakar.
Beberapa kali Habib Abubakar
menyebut-nyebut nama Habib Hasyim, se¬orang tokoh ulama di sana. Nama
leng¬kapnya Hasyim bin Abdurrahman Al-Haddad. Ia memperkirakan, usia
Habib Hasyim antara 50 hingga 60 tahun. Meski dari keluarga Al-Haddad,
Habib Hasyim dan beberapa leluhurnya sudah kelahiran India.
”Beliau gemar meneliti sejarah. Orangnya penuh wibawa. Sikapnya menunjukkan bahwa ia seorang ahlul ’ilm(ter¬pelajar).
Dari caranya menerima tamu, berdoa, berbicara, tampak sekali bahwa
sikapnya adalah sikap seorang ahlul ’ilm, dan beliau ahlul ’ilm yang mutawadhi’ (ren¬dah hati),” kata Habib Abubakar lagi.
”Di sekolah itu”, yaitu sekolah yang di asuh Habib Hasyim, ”pelajaran keislaman amat dikembangkan sedemikian rupa.”
Saat acara haul berjalan, Habib Abu bakar
bertutur tentang sejumlah kisah terkait Habib Abdullah bin Alwi
Al-Haddad se¬bagaimana yang ia dengar dari guru-gurunya, di lingkungan
Ma’had Darul Hadits Al-Faqihiyyah, Malang. Di antaranya, sebagaimana
yang ia tukil dari kalam Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, betapa
Rasulullah SAW sangat mencintai Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad,
sampai-sampai dikatakan bahwa, di mata Rasulullah SAW, Habib Abdullah
ini termasuk sebaik-baik keturunan beliau.
Selain menghadiri acara haul, selama di
sana ia banyak diajak menziarahi kompleks pemakaman awliya’ dan
shalihin. Subhanallah, ternyata tak sedikit di antara makam-makam
awliya’ yang diziarahinya itu adalah kaum Sadah Alawiyyin. Sekitar tujuh
kompleks pemakaman para wali di sana ia ziarahi, memanfaatkan waktu
kosong selama dua pekan kunjungannya di Kerala.
Di antara makam para awliya’ di sana yang
ia ziarahi adalah makam Habib Muhammad bin Abdurrahman Bahasan
Jamalullail dan makam Habib Alwi bin Sahl Mauladdawilah. Sepulangnya
dari India, Habib Abubakar membawa oleh-oleh sejumlah risalah berisi
manaqib sejumlah orang shalih yang makamnya menjadi tempat ziarah kaum
muslimin di sana, yang masih menghargai dan mengenang jasa-jasa yang
telah diberikan oleh para ulama dan shalihin tempo dulu itu.
Selama di sana, hampir tak ada kendala
yang berarti yang ia dapati. Sesekali ada kesulitan dalam hal bahasa,
terutama ketika ia sedang ada keperluan berbicara dengan penduduk
setempat, sedangkan pendamping penerjemahnya sedang tidak ada di
sampingnya, seperti saat ia sedang di penginapan.
Dari perjalanannya itu, Habib Abu bakar
merasa beroleh hikmah yang besar. Ia menyampaikan rasa kagumnya yang
luar biasa kepada para pendahulu Alawiyyin.
”Bayangkan luar biasanya para pendahulu,
kaum Alawiyyin, dari Hadhramaut itu. Mereka datang ke berbagai negeri,
termasuk ke India sini, tanpa memakai penerjemah sama sekali. Mereka
datang ke suatu negeri yang tak mengenal mereka sama sekali, bahkan
mereka tak mengerti bahasa penduduk negeri itu.
Mereka juga menggunakan peralatan
transportasi yang masih sangat jauh ketinggalan dibanding zaman
sekarang. Padahal kita sekarang naik pesawat saja kalau perjalanannya
jauh tetap saja rasanya badan-badan ini cepat lelah.
Tapi, mereka yang hidup dan berjuang
dengan segala keterbatasan itu, subhanallah, justru berhasil menyebarkan
Islam di banyak tempat, termasuk di India. Bahkan juga sampai di
seantero Nusantara.
Jadi, kita ini memang tidak ada apa-apanya dibanding mereka,” kata Habib Abubakar menyimpulkan.
Ahli Barakah
Berbicara tentang ziarah ke makam-makam para waliyullah, para kekasih Allah, Habib Abubakar menyampaikan bahwa para kekasih Allah itu memang pantas didatangi dan dikunjungi. Semasa hidup, mereka adalah para ulama yang hanya dengan memandang wajah mereka saja dapat menggiring hati seseorang untuk ingat kepada Allah.
Berbicara tentang ziarah ke makam-makam para waliyullah, para kekasih Allah, Habib Abubakar menyampaikan bahwa para kekasih Allah itu memang pantas didatangi dan dikunjungi. Semasa hidup, mereka adalah para ulama yang hanya dengan memandang wajah mereka saja dapat menggiring hati seseorang untuk ingat kepada Allah.
Sekarang mereka telah wafat. Tapi, bukan
berarti di kubur mereka mati seperti kebanyakan orang. Tidak. Para
kekasih Allah itu tetap hidup dalam kubur mereka, dan ini jelas
dinyatakan dalam Al-Qur’an. Jasad mereka juga tak termakan oleh bumi.
Itu artinya, kita mendatangi mereka saat ini ketika mereka sudah wafat
sama halnya dengan mendatangi mereka dulu ketika mereka masih hidup.
Mereka, kaum shalihin kekasih-kekasih
Allah itu, bukan hanya ahlul ‘ilm, tapi juga ahlul barakah. Sebab, perlu
dicermati, seorang ahlul ’ilm belum tentu ahlul barakah.
Kemudian Habib Abubakar mengutip
perkataan Al-Musnid Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih, ”Ketika
seseorang hendak menuntut ilmu, mereka mendapatkannya di kitab-kitab.
Ketika hendak mencari keberkahan, tidaklah mereka mendapatkannya kecuali
dalam diri orang-orang shalih. Ahli ilmu banyak, tapi ahli keberkahan
itu sedikit.”
Bagi Habib Abubakar, kalau ada berbagai
kejadian luar biasa dalam kisah ke¬hidupan para kekasih Allah SWT,
sesungguhnya itu tergantung cara pandang. Contohnya Imam Ali Zainal
Abidin, tokoh besar yang sampai dijuluki ”perhiasan hamba-hamba Allah”.
Saat ia wafat, ada tanda kehitaman di bagian bawah matanya, karena
begitu banyaknya ia menangis di waktu malam.
Tak diragukan, ia adalah seorang
waliyullah. Dalam banyak biografi yang menyebutkan riwayat hidup Imam
Ali Zainal Abidin, disebutkan, setiap malam, ia shalat sampai seribu
rakaat.
Mungkin kita bertanya-tanya, bisakah
tercapai bilangan seribu rakaat di setiap malam pada malam-malam Imam
Ali Zainal Abidin? Padahal dalam bagian lain dari biografi Imam Ali
Zainal Abidin juga disebutkan betapa di sebagian malamnya ia selalu
berkeliling kota Madinah untuk membagikan bahan-bahan makanan langsung
sampai di depan pintu para penduduk Madinah yang membutuhkan bantuan.
Lalu kapan waktunya ia shalat sampai seribu rakaat?
Menjawab pertanyaan itu, Habib Abu bakar
hanya mengatakan, ”Imam Ali Zainal Abidin seorang kekasih Allah,
sedangkan Allah adalah Sang Pencipta waktu.”
Jawaban yang singkat namun padat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar